Merbabu dan pesonanya

Photobucket
Merbabu sebuah gunung yang bersebelahan dengan Gunung Merapi. Gunung Merbabu memiliki 7 puncak yang dikagumi para penggiat alam bebas. Gunung yang terletak di 3 kabupaten; Semarang, Boyolali, dan Magelang menjadi favorit para pendaki gunung, karena memiliki jalur pendakian yang beragam dengan berbagai tingkat kesulitan. Ada 4 jalur resmi pendakian yang familiar dikalangan pendaki, yakni; Thekelan, Selo, Cuntel dan Wekas. 4 jalur dengan jarak dan tingkat kesulitan berbeda akan bertemu di puncak utama dengan ketinggian 3142mdpl. Dengan status sebagai kawasan Taman Nasional, memberikan nilai tambah sebagai lokasi kunjungan yang wajib disambang para Pendaki Gunung.
Pukul 13.45, langkah pertama dari sebuah Base Camp di Dusun Kesingan dan biasa disebut sebagai Base Camp Wekas. Berjalan melewati jalan berpaving di tengah-tengah dusun dengan tegur sapa hangat penduduknya. Alasan mengambil rute lewat jalur Wekas, karena jalur terpendek untuk sampai di Puncak Merbabu, dengan panjang rute sekitar 4,54km. Jalur setapak dengan mengikut alur pipa air yang dipasang penduduk, dengan medan yang tidak terjal dan cukup landai bisa dijadikan rujukan untuk para pemula. Hutan yang rimbun melindungi dari terik matahari, sehingga tidak begitu menguras tenaga berlebih. Sepajang jalur pendakian ada instalasi air, sehingga ketersediaan air cukup aman, sebab bisa diambil dari bak-bak penampungan atau rembesan dari pipa yang bocor.
Pukul 15.56 tak terasa pendakian sudah sampai di sebuah pelataran yang luas dan biasa digunakan para pendaki untuk mendirikan tenda. Air yang tersedia ditempat tersebut cukup melimpah, sehingga menjadi lokasi favorit pendaki untuk membangun kemah. Pepohonan yang mengelilingi juga memberikan perlindungan dari hembusan angin dan paparan sinar matahari. Sejenak beristirahat sambil memandang puncak-puncak Merbabu yang jelas terlihat dari lokasi ini. Puncak Watu tulis dengan pemancar yang menjulang, Puncak Kukusan yang berada di tengah lembah, serta Puncak Syarif dan Kenteng Songo yang berdiri berdampingan. Setelah lelah terobati, maka kaki melangkah dari tempat dengan ketinggian 2531mdpl.
Photobucket
Kembali berjalan dan kali ini dengan rute yang menanjak untuk menuju pertemuan dengan jalur Cuntel dan Tekelan. Jalan setapak dengan dinaungi pepohonan yang rimbun membuat perjalanan terasa sejuk. Jalan tanah kini sudah berganti bebatuan yang menandakan segera samapi di pertemuan jalur. Matahari semakin condong ke barat dan tepat berdiri sejajar dengan Gunung Sumbing dan Sindoro. Langkah kaki berhenti disebuah pertigaan jalur dan sejenak beristirahat sambil menyaksikan matahari terbenam. Arloji menunjukan angka 17:21 yang merupakan saat dimana Sang Surya mulai menidurkan dirinya di ufuk barat. Cahaya kekemasan dari sisi barat dengan Siluet Sindoro Sumbing memberikan keindahan menjelang waktu senja. Sang Surya akhirnya terbenam dan menandakan harus segera mencari tempat untuk beristirahat.
Malam telah tiba, dan tenda berdiri disebuah pelataran yang cukup untuk menampung 4-6 tenda. Para pendaki biasa menyebut tempat tersebut sebagai Helipad, atau landasan Helikopter. Dalam tenda yang hangat, diselingi aktivitas menyiapkan menu makan malam. Memasak adalah salah satu moment yang ditunggu, sambil mengelilingi perapian dari kompor berbahan bakar alkohol. Secangkir teh hangat, sepiring nasi goreng dan beberapa camilan, menu sederhana namun terasa mewah saat dihidangkan diketinggan hampir 3000mdpl. Santap malam bersama rekan-rekan pendaki, sambil diiringi canda tawa telah mengusir rasa lapar, dahaga dan lelah setelah setengah hari berjalan mendaki.
Photobucket
Malam semakin larut, bintang mulai bersinar dan tak kalah dengan lampu-lampu dibawah sana yang gemerlapan. Temaram cahaya bulan, menerangi malam yang dingin dan hembusan angin yang membekukan suasana. Cahaya hangat dari dalam tenda, seberkas sinar dari pancaran headlamp, gemerlap cahaya lampu kota dan nan jauh disana bintang ribuan tahun cahaya menghiasi angkasa menemani rembulan yang bersinar. Saatnya istirahat, setelah semua barang dikemas dan diberesi agar esok pagi siap untuk dipergunakan. Malam yang dingin, namun terasa hangat dalam naungan tenda dan berbelutkan kantung tidur beralaskan matras yang empuk. Alam mimpi menjemput dan saatnya tubuh beristirahat untuk persiapan perjuangan mendaki puncak keesok harinya.
Pukul 04.00 alarm dari ponsel membangunkan dari lelapnya tidur. Sebuah suasana dimana harus memaksakan diri keluar dari ruang kenyamanan untuk menuju siksaan alam dalam bekunya udara pagi. Memdidihkan air untuk segelas susu hangat dan memanaskan penggorengan untuk menghanguskan lembaran roti tawar yang dilapisi dengan cokelat susu sebagai modal awal pendakian. Pukul 05.00 semua persiapan beres dan siap untuk memburu puncak sebelum didahului Sang Surya. Jaket dengan lapisan penahan angin, headlamp selalu siaga untuk memberikan penerangan dan sepatu treking untuk menjaga keamanan kaki disaat melangkah.
Jembatan Setan, begitu pendaki menyebut sebuah tanjakan didepan mata yang nampak curam. Dengan perlahan tubuh merambat disebuah bukit yang memanjang dengan sisi kanan kiri jurang yang menganga. Embub pagi yang membasahi tubuh seolah tidak menghalangi kaki untuk terus melangkah menuju puncak. Jalur semakin menyempit dan panjang nampak seolah berjalan di punggung sapi, sehingga lokasi ini dinamakan “Geger Sapi”. Berjalan terus dengan jalur yang semakin terjal, dan kali ini langkah kaki harus berhenti dipertigaan. jalur yang kekiri menuju Puncak Syarif dan yang kanan menuju Puncak Kenteng Songo.
Photobucket
Keputusan harus segera diambil, maka Puncak Syarif menjadi tujuan pertama. Hanya berjalan sekitar 5 menit, maka sampai lah disebuah puncak dengan ketinggian 3119mdpl. Puncak yang dinamakan Syarif, konon ada seorang yang bernama Syarif melarikan diri dari Belanda pada jaman penjajahan dahulu dan bersembunyi dipuncak Gunung. Cerita pelarian Syarif yang melegenda, sehingga namanya diabadikan sebagai salah satu Puncak di Gunung Merbabu. Sejenak menikmati keindahan matahari terbit dari puncak disisi selatan Merbabu.
Perjalana dilanjutan, dan saatnya menuju puncak yang tertinggi di Gunung Merbabu. Melewati sebuah punggungan yang panjang dan sebuah tanjakan yang sangat terjal yang diberi naman “Ondo Rante”, maka sampailah di Puncak Kenteng Songo. Sebuah puncak yang namanya dihubungkan dengan adanya batu kenteng yang berjumlah sembilan. Sebuah batu bulat dengan lobang ditengahnya, menjadi penanda puncak Kenteng Songo. Sangat disayangkan, sebuah simbol alam harus menjadi korban tangan jahil dengan coretan, dan pengrusakan batu yang dianggap keramat tersebut.
Photobucket
Belum lengkap jika belum menginjakan kaki dipuncak sejati Gunung Merbebu dengan ketinggian 3142mdpl. Hanya 3 menit berjalan, maka sampailah di puncak tertinggi Gunung Merbabu. Dari tempat ini, seolah berdiri ditengah-tengan Jawa Tengah. Disisi Selatan berdiri megah Gunung Merapi yang angker, disisi barat Sindoro Sumbing berdiri kokoh, disisi utara Gunung Andong, Telomoyo, Ungaran dan Muria nampak jelas, dan sisi timur nampak samar Puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu. Seluruh permukaan Gunung Merbabu, terlihat jelas dari segala penjuru disaat mata memandang seluas-luasnya.
Photobucket
Perjalanan belum usai, dan saatnya kembali turun menuju kemah dasar. kali ini perjalanan pulang dengan mengambil rute Thekelan, karena ingin menyaksikan eksotisme Watu Gubug dan Pereng Putih. Jalur Thekelan merupakan jalur yang tertua, sebab dahulu menjadi jalur utama pendakian. Dari puncak hingga sampai di Helipad sekitar 1 jam perjalanan. Setelah semua peralatan pendakian dikemasi, maka perjalanan turun dimulai. Tujuan pertama adalah Gunung Watu Tulis, yaitu sebuah puncak di sisi Utara. Puncak dengan adanya sebuah bangunan permananen yang digunakan sebagai pemancar relay radio Militer. Cukup disayangkan, fasilitas pertahanan harus kembali berurusan dengan tangan jahil. Solar panel sudah raib diambil pencuri, dinding penuh dengan aksi vandalisme, dan kawat berduri sudah mudah untuk diterobos.
Photobucket
Dari pemancar ini, ada pertemuan jalur, dimana arah kekiri menuju Jalur Cuntel d an yang kanan menuju Thekelan. Jalan curam menurun, dan setelah 20 menit berjalan akan ditemukan sebuah batu besar yang diberi nama “Watu Gubug”. Watu Gubug, bisa dijadikan sebagai tempat perlindungan dari cuaca badai dan tempat ini disakralkan penduduk setempat. Dari watu Gubug ada 5 jalur yang siap untuk dipilih yaitu; jalur tembus menuju jalur cuntel, jalur Thekelan dengan rute; jalur utama, kalur alternatif, jalur baru dan jalur lama yang kesemuanya menuju pos 2. Waktu tempuh menuju pos 2 sekitar 30 menit perjalanan.
Dari Pos 2 menuju pos 1 sekitar 20 perjalanan dengan melewati hutan yang cukup lebat. Di Pos 1 jalan mulai terbuka, karena jalur melipir tebing yang diberi nama “Pereng Putih” atau tebing putih. Tebing tinggi dengan warna putih akibat lumut kerak, mampu memantulkan suara disaat ada teriakan dari pendaki yang iseng mencoba gema. Dari Pos 1 perjalan dilanjutkan menuju Pos Pending lalu menuju Base Camp Thekelan. Selesai sudah perjalan 2 hari 1 malam untuk menyambangi puncak Merbabu dan menyaksikan matahari terbenam dan terbit. Mencapai puncak gunung adalah tujuan pendakian, tetapi akan lebih lengkap jika kembali turun dengan keadaan selamat.

Perjalanan ke Bromo (wonderfull adventure)





Saya sangat yakin bahwa Gunung Bromo dan kawasan Tengger adalah salah satu karunia alam terbaik yang dimiliki oleh Indonesia, dan saya juga cukup yakin semua orang yang pernah berkunjung kesana akan berpendapat yang sama. Ya, sungguh luar biasa keajaiban alam yang dimiliki oleh Kawasan Tengger ini, mulai dari langit bersih yang penuh bintang – tambah bulan, maka akan menjadi magical moment – matahari terbit yang mengagumkan, pemandangan lanskap yang indah dan unik (unearthly), udara yang dingin dan sejuk, serta masyarakat sekitar yang ramah dan bersahabat.
Meskipun demikian, kali ini saya tidak akan membahas mengenai keindahan alam Bromo-Tengger, tetapi membahas pengalaman saya menuju dan selama di kawasan Bromo – Tengger.
Untuk menuju kawasan Bromo-Tengger bisa melalui banyak cara. Cara yang paling mudah dan menurut saya tidak terlalu mahal adalah dengan menggunakan jasa agen pariwisata. Agen pariwisata yang menawarkan paket ke Bromo-Tengger sangat banyak dan harganya cukup kompetitif. Harga bervariasi tergantung dari fasilitas yang ditawarkan dan rencana perjalanannya. Saya menemukan banyak pilihan agen melalui Google. Dalam hal pengalaman saya ini, rombongan kami berjumlah 9 orang dan kami membayar Rp 650.000,- per orang, diluar tiket pesawat Jakarta-Surabaya. Kami mendapatkan 2 Jip, homestay di rumah penduduk, air, makan sehari di Bromo-Tengger, dan perjalanan ke Puncak Pananjakan, kawah Bromo (sewa kuda tidak termasuk), savanna, pasir berbisik, serta transportasi Surabaya-Cemoro Lawang-Surabaya.

Kami menginap di homestay di desa Cemoro Lawang, yang merupakan salah satu desa terdekat dengan Gunung Bromo. Lebih tepatnya mungkin bukan homestay, melainkan menginap di rumah penduduk. Penginapan kami cukup bersih, dan tentu saja dingin :). Untungnya tempat kami menginap mempunyai atap yang terbuka (Open Sky) sehingga kami dapat melihat langit cerah dengan bintang pada malam hari (pada bulan Juli, dimana langit cukup cerah dan gelap). Dengan bantuan long exposure di kamera, kami dapat merekam nebula milky way. Pengalaman tersebut sangat luar biasa dan berkesan. Tentu saja, kami tidak lupa mengambil foto diri kami dibawah bintang seperti ini :)

Sebelum kami berangkat ke Surabaya, sempat terjadi perdebatan kecil antara kami mengenai tempat melihat matahari. Ada dua tempat yang diusulkan oleh pemandu kami, yaitu Puncak Pananjakan atau Puncak Metigen. Puncak Metigen cukup dekat dengan Cemoro Lawang dan tidak begitu ramai, jadi kami bisa berangkat lebih siang (maksudnya sekitar pukul 4 pagi) untuk mengejar matahari terbit. Puncak Pananjakan lebih ramai dan lebih jauh, jadi kami harus berangkat lebih pagi (sekitar jam 3 pagi atau lebih pagi) dan gak ada jaminan dapat tempat yang bagus. Melalui pemungutan suara akhirnya kami memutuskan untuk ke Puncak Pananjakan. Menurut saya pribadi, Puncak Pananjakan lebih ramai karena memang menawarkan pemandangan yang lebih spesial dan berhubung kami sudah jauh-jauh datang dari Jakarta, kami (maksudnya yang memilih Pananjakan ;p) berniat untuk mendapatkan hal yang terbaik.
Akhirnya kami berangkat pukul 3 pagi dari Cemoro Lawang, dan di jalan menuju Pananjakan, kami menyewa ojek setempat (sekitar 15 ribu Rupiah) untuk naik ke atas lagi. Kami sampai diatas kira-kira pukul 4.30 pagi dan mendapati Puncak Pananjakan sudah dipenuhi oleh orang. Tapi memang saya dan teman saya agak nekad, kami memberanikan diri untuk berada diluar pagar dan tepat di tepi jurang, sambil berdoa kencang supaya dapat tempat yang terbaik. Untungnya begitu langit sudah mulai terang, saya melihat jurangnya tidak terlalu curam dan banyak pohon. Jadinya sih lumayan lega (meskipun nekad dan gak pantas ditiru).
Nah, dengan perjuangan yang seperti itu, apakah sebanding dengan hasilnya? Menurut saya, sangat sebanding! Puncak Pananjakan memang mampu memberikan pemandangan yang luar biasa. Lihat saja dari foto ini yang diambil dari Pananjakan:
Ini adalah foto matahari terbit, yang diambil dari tepi jurang Puncak Pananjakan

Dan dari balik punggung Puncak Pananjakan, ada Gunung Arjuna yang berdiri dengan tenang ditengah kabut pagi

Dan ini lah foto favorit saya, yang diambil dari Puncak Pananjakan. Foto iconic Bromo yang seperti ini memang hanya bisa diambil dari Puncak Pananjakan. Gunung Batok ada di depan, dan diikuti oleh Gunung Bromo. Gunung Semeru yang agung berdiri tegak di belakang, dan kuil Hindu Poten berada dibawah kaki Gunung Batok.

Setelah dari Puncak Pananjakan, selanjutnya kami turun ke bawah untuk berkunjung ke kawah Gunung Bromo. Kami berhenti di dekat Kuil Hindu Poten (sayangnya waktu itu sedang tidak bisa dikunjungi) dan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kuda. Untuk sewa kuda, kami membayar 100 ribu Rupiah per orang dan baru dibayar setelah kami kembali lagi dari kawah Gunung Bromo. Medan di sekitar Gunung Bromo merupakan medan pasir vulkanik dan sangat berdebu (jangan lupa bawa masker dan tutup kepala). Selain itu karena berada di dataran tinggi dan cukup cerah, sinar matahari sangat menusuk kulit sehingga menurut saya, lebih baik menyewa kuda untuk ke kawah Gunung Bromo daripada berjalan kaki. Toh perjalanan kami masih panjang, jadi kami tidak ingin sudah capai duluan jadi tidak bisa menikmati seluruh perjalanan.

Nah, begitu mendekati puncak Gunung Bromo, perjalanan dilanjutkan dengan menaiki anak tangga. Anak tangganya sendiri sih menurut saya tidak curam dan tidak tinggi, jadi cukup mudah dinaiki. Mungkin sekitar 200-300 anak tangga. Akan tetapi naiknya harus mengantri dan pelan karena sempit, jadi agak bersabar sedikit.

Seperti gambar diatas, jika tidak ingin menaiki tangga dan lebih cepat, bisa coba berjalan di sisi luar tangga. Medannya tentu lebih susah dan berdebut, tapi lebih cepat sampai ke atas. Oh iya, bisa sempat foto-foto juga seperti bule yang ini:

Naik nya memang sangat mengantri…tapi turunnya juga sama dan harus lebih hati-hati, karena jalan turun itu membawa beban berat badan yang lebih besar dan tangga yang kecil. Ini antrian turunnya:

Nah setelah sampai diatas, apa saja yang bisa dilihat? Apakah sebanding dengan usaha untuk naik ke puncak Gunung Bromo? Menurut saya sih cukup sebanding ya, dan karena sudah jauh-jauh datang, tentu saja harus melihat puncak Gunung Bromo. Di puncak Gunung Bromo tentu saja ada kawah yang masih aktif dan kadang-kadang ada terlihat sisa sesajen masyarakat suku Tengger yang menghuni kawasan ini.

Akan tetapi bagi saya, yang tidak kalah menarik adalah pemandangan lansekap Bromo-Tengger dari sudut pandang yang berbeda. Misalnya adalah pemandangan lautan pasir Bromo seperti ini:

atau pemandangan Gunung Batok dan Kuil Hindu Poten

Setelah puas dengan puncak Gunung Bromo, kami melanjutkan perjalanan ke padang savanna. Padang savanna terletak dibalik Gunung Bromo. Padang savanna sendiri cukup unik karena meskipun disekeling Gunung Bromo dan Gunung Batok merupakan daerah pasir vulkanik, padang savanna merupakan pengecualian dimana rumput tinggi dan pepohonan bisa tumbuh. Padang savanna juga saya lihat sering dilintasi oleh pengemudi motor-cross. Padang savanna menurut saya tempat yang bagus untuk berfoto ria dan melihat-lihat pemandangan yang hijau (setelah sebelumnya melihat pasir terus ;p )

Setelah dari padang savanna, kami pindah ke daerah yang dinamakan Pasir Berbisik. Daerah ini merupakan padang pasir vulkanik dan hembusan anginnya cukup kencang, sehingga bisa terdengar seperti bisikan halus. Karena itu daerah ini dinamakan Pasir Berbisik. Sepanjang perjalanan, tiupan angin cukup sering dan kelihatannya seperti badai kecil padahal cuma angin kecil saja. Hebatnya lagi, beberapa kali saya menjumpai penduduk lokal yang berjalan di tengah-tengah Pasir Berbisik ini. Sesuai dengan namanya, daerah ini sangat berdebu dan mungkin cukup berbahaya bagi peralatan elektronik yang sensitif terhadap debut. Pemandangannya yang disuguhkan sangat unik dan merupakan pengalaman yang tidak akan dilupakan juga.
Ini adalah Jeep yang kami sewa dengan latar belakang Gunung Batok.

Dan ini adalah situasi di tengah padang Pasir Berbisik, dimana ada sekumpulan wisatawan yang membawa motor (bukan motor-cross! tapi motor bebek) ke tengah padang Pasir Berbisik

Kami kemudian mengakhiri perjalanan kami setelah dari daerah Pasir Berbisik. Kami kembali ke penginapan untuk membersihkan diri dan pergi untuk mengejar penerbangan kembali ke Jakarta bagi beberapa teman saya. Saya dan teman saya kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Malang dan Batu.
Dari pengalaman saya ini, saya bisa merangkum beberapa tips untuk mempersiapkan diri dalam perjalanan ke Bromo ini:
  • Perjalanan ke Bromo dapat dilakukan over the weekend dimana berangkat ke Surabaya pada hari Sabtu pagi, sampai Surabaya sebelum jam 12 siang, dan kembali lagi ke Jakarta dengan penerbangan malam pada hari Sabtu (sekitar pukul 8 malam keatas). Kunjungan ke Bromo sendiri hanya memerlukan waktu setengah hari, dari pukul 4 pagi sampai kira-kira pukul 11 siang. Akan tetapi perlu mempersiapkan fisik yang kuat dan tidak sakit.
  • Suhu udara di kawasan ini sangat dingin. Pada malam hari mungkin sekitar 3-8 derajat celcius. Pada pagi hari, suhunya kira-kira sama tetap anginnya lebih kencang sehingga rasa dinginnya seperti menusuk. Perlu disiapkan jaket yang tebal atau windbreaker supaya tidak terlalu kedinginan pada saat subuh sebelum berangkat ke Pananjakan atau Metigen.
  • Pukul 6 pagi keatas, suhu sudah cukup sejuk jadi bagi saya pribadi, tidak perlu jaket tebal lagi. Saya hanya memakai 3 lapis pakaian (kaos dalam, kaos lengan panjang, dan sweater).
  • Karena di daerah puncak sinar matahari biasanya cukup menggigit, pakailah pakaian lengan panjang dan jangan lupa suncream yang bagus (minimal 50 spf).
  • Penutup kepala (topi), syal di leher, sarung tangan, MASKER, dan kaca mata hitam adalah hal yang WAJIB untuk dibawa. Selain untuk melindungi dari dingin dan cahaya matahari yang terik, perlengkapan tersebut juga melindungi dari debu vulkanik yang luar biasa banyak diterbangkan oleh angin. Biasanya dari puncak Bromo dan Pasir Berbisik, debu bisa lengket di baju dan rambut.
  • Pastikan peralatan elektronik yang dibawa tidak sensitif terhadap debu (weather resistant). Kamera saya mati setelah dari Pasir Berbisik. Untung saja masih dalam masa garansi.